Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk:
Mengetahui latar belakang munculnya anak jalanan.
Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan fenomena munculnya anak jalanan.
Mengetahui alternatif model penanganannya, khususnya di wilayah JABODETABEK yang berbasis Keluarga.
Konsep Anak
Konsep “anak” didefinisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda, sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan yang beragam. Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan
Untuk kebutuhan penelitian ini, anak didefinisikan sebagai seorang manusia yang masih kecil yang berkisar usianya antara 6–16 tahun yang mempunyai ciri-ciri fisik yang masih berkembang dan masih memerlukan dukungan dari lingkungannya.
Seperti manusia pada umumnya, anak juga mempunyai berbagai kebutuhan: jasmani, rohani dan sosial. Menurut Maslow, kebutuhan manusia itu mencakup : kebutuhan fisik (udara, air, makan), kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk menyayangi dan disayangi, kebutuhan untuk penghargaan, kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan bertumbuh.
Sebagai manusia yang tengah tumbuh-kembang, anak memiliki keterbatasan untuk mendapatkan sejumlah kebutuhan tersebut yang merupakan hak anak. Orang dewasa termasuk orang tuanya, masyarakat dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak anak tersebut. Permasalahannya adalah orang yang berada di sekitarnya termasuk keluarganya seringkali tidak mampu memberikan hak-hak tersebut. Seperti misalnya pada keluarga miskin, keluarga yang pendidikan orang tua rendah, perlakuan salah pada anak, persepsi orang tua akan keberadaan anak, dan sebagainya. Pada anak jalanan, kebutuhan dan hak-hak anak tersebut tidak dapat terpenuhi dengan baik. Untuk itulah menjadi kewajiban orang tua, masyarakat dan manusia dewasa lainnya untuk mengupayakan upaya perlindungannya agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi secara optimal.
Berbagai upaya telah dilakukan dalam merumuskan hak-hak anak. Respon ini telah menjadi komitmen dunia international dalam melihat hak-hak anak. Ini terbukti dari lahirnya konvensi internasional hak-hak anak. Indonesiapun sebagai bagian dunia telah meratifikasi konvensi tersebut. Keseriusan Indonesia melihat persoalan hak anak juga telah dibuktikan dengan lahirnya Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Tanpa terkecuali, siapapun yang termasuk dalam kategori anak Indonesia berhak mendapatkan hak-haknya sebagai anak.
Konsep Anak Jalanan
Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan atau di tempat-tempat umum. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi
Konsep Keluarga
Keluarga adalah sejumlah orang yang bertempat tinggal dalam satu atap rumah dan diikat oleh tali pernikahan yang satu dengan lainnya memiliki saling ketergantungan. Secara umum keluarga memiliki fungsi (a) reproduksi, (b) sosialisasi, (c) edukasi, (d) rekreasi, (e) afeksi, dan (f) proteksi.
Pemberdayaan (empowerment) adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayan Barat utamanya Eropa. Secara umum pemberdayaan keluarga dipahami sebagai usaha menciptakan gabungan dari aspek kekuasaan distributif maupun generatif sehingga keluarga memiliki kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya.
Landasan Bepikir
Kajian ini menganggap penting untuk menemukan beberapa alternatif model yang mungkin dapat digunakan untuk menangani permasalahan anak jalanan dan perlu diuji coba, tentunya dengan tidak lupa mengkaji ulang berbagai model yang telah pernah ada dalam permasalahan anak jalanan, seperti rumah singgah misalnya. Mengacu kepada kondisi yang demikian, ternyata upaya yang patut dikembangkan terus
Rabu, 05 November 2008
di kala rumah singgah (panti) tak semenarik jalanan
Ada sekitar 900 rumah singgah di Indonesia yang melakukan pengentasan anak jalanan (anjal). Tetapi, rumah singgah itu justru menambah subur populasi anjal. Betulkah?.
WAJAH dua bocah bertubuh tambun itu, muncul di balik kaca jendela mobil yang berhenti di lampu merah perempatan kantor Polda Jawa Tengah.
Bersamaan dengan suara cempreng dari beberapa tutup botol bekas minuman sebagai alat musik, mengiringi vokal sumbang dua anak itu. Maklum, lagu dan alat musik khas itu dimainkan sekenanya.
Kendati di bawah sengatan panas matahari, bocah itu tetap semangat dan tetap berusaha tersenyum. Apalagi saat sang sopir membuka kaca jendela mobil dan mengulurkan tangan sambil memberikan uang.
Setelah menerima recehan, anak-anak itu mengamen lagi ke mobil di belakangnya. Begitu seterusnya setiap hari.
Dua bocah bernama Yanto, 10, dan Yanti, 9, itu sedikit di antara ratusan anak yang setiap harinya mengamen, mengemis, maupun menjadi pedagang asongan di sudut-sudut Kota Semarang.
Menurut aktivis Yayasan Setara Semarang --lembaga monitor anjal-- Hening Budiyawati, anak-anak ini terjun ke jalanan karena faktor ekonomi dan paksaan orang tuanya. ''Mereka ditarget harus mendapat Rp50 ribu setiap harinya, kalau tidak mereka dipukul,'' katanya.
Lebih dari itu, Hening juga mendapati 100% anjal di Kota Semarang pernah menggunakan obat terlarang, walaupun obat yang dipakai setingkat pil leksotan dan lem aibon yang paling-paling seharga Rp10 ribu per kaleng.
Bahkan bukan cerita anyar lagi, anjal khususnya perempuan kerap mengalami pemerkosaan atau pelecehan seksual dari komunitasnya. Paling tidak, sepanjang 2003 lalu ada 25 kasus pemerkosaan yang dialami anjal.
Maka itu setiap enam bulan sekali, Yayasan Setara Semarang terus melakukan monitoring sekitar 193 anjal. Tujuannya, agar secara perlahan kegiatan anjal ini dapat dihentikan atau setidaknya dikurangi. ''Pendekatan yang kita lakukan di antaranya, melalui diskusi dengan mereka,'' papar Hening.
Tidak cuma di Semarang, aktivitas pengentasan anjal juga dilakukan di hampir seluruh kota di Tanah Air. Sanggar Anak Akar Jakarta, misalnya, sejak berdiri 1994 telah banyak membantu memberikan suasana rumah, pendidikan sekolah, dan pendidikan sosial masyarakat.
Rumah singgah ini juga melayani alternatif bagi anak jalanan untuk bermain, belajar, membuat perpustakaan, tabloid, pagelaran drama dan musik. Namun tidak ingin memaksakan agar anjal kembali ke rumah masing-masing. ''Hal ini seyogianya menjadi tanggungan pemerintah sesuai dengan amanat undang-undang,'' tegas Pimpinan Sanggar Anak Akar, Ibe Karyanto.
Di Indonesia tercatat ada sekitar 900 rumah singgah yang berdomisili di 12 kota besar. Rumah-rumah itu berfungsi sebagai penyelamatan anjal, pelayanan jasa dengan memberikan makanan tambahan, bea siswa, tutorial, latihan keterampilan, reunifikasi keluarga, bimbingan kewirausahaan, maupun penyuluhan sosial.
Uniknya, menurut Deputi Bidang Perlindungan dan Kesejahteraan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Rachmat Sentika, banyaknya rumah singgah justru pertumbuhan anjal semakin banyak. Per tahun terjadi peningkatan sekitar 22%, padahal kalau dibiarkan saja peningkatannya cuma 16% saja. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan tahun 2003 menunjukkan sebanyak 47.000 anak beredar di jalan.
Seleksi rumah singgah
Maka itu, tidak salah kalau belakangan pemerintah pun mulai melihat model rumah singgah ini seefisien dan efektif mungkin. Menurut Rachmat Sentika, model rumah singgah itu berbentuk skema jaring pengaman sosial.
Strategi penanggulangannya juga berbeda, umpamanya untuk kelompok risiko tinggi, pemerintah mengelompokkan dalam satu lingkungan dengan membuat panti asuhan dan rumah singgah.
Sedangkan strategi lainnya, pemerintah berusaha mengembalikan kepada orang tuanya agar mereka bisa sekolah. Sedangkan orang tuanya, diberikan bantuan melalui pemberdayaan ekonomi.
Direktur Bina Pelayanan Sosial Anak Departemen Sosial Makmur Sanusi menilai, sebaiknya rumah singgah itu dikurangi namun digantikan dengan model protection home (rumah perlindungan).
Alasannya, selama ini rumah singgah terlalu banyak di ekspos. Akibatnya, anak yang merasa tidak terlayani ikut turun ke jalan, sehingga jumlah anak jalanan semakin besar.
''Jadi model rumah perlindungan itu merupakan salah satu kebijakan untuk mengurangi populasi anak jalan,'' katanya.
Mengenai teknis pengurangan itu akan diserahkan kepada daerah. Bagi daerah yang masih cocok dengan model rumah singgah tetap dipertahankan. Sedangkan untuk daerah yang dinilai tidak pas, akan dialihkan ke rumah perlindungan.
Dana rumah singgah itu berasal dari bantuan ASEAN Development Bank (ADB) yang jumlahnya sekitar Rp200 miliar untuk tahun 2002-2003.
Dalam setiap komponen rumah singgah dilakukan kegiatan seperti, pendidikan gratis, work shop, dan pemberdayaan keluarga.
Sedangkan pengelola rumah singgah, dilakukan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang telah diseleksi tim koordinasi kota (TKK) pemerintah daerah.
Diakui dengan dana sebesar itu, rupanya pemerintah belum bisa menangani anak jalanan secara keseluruhan. Yang bisa dilakukan hanyalah memperlambat pertumbuhan anak jalanan. ''Yang tadinya pertumbuhan anak jalanan sekitar 400%, sekarang tinggal sekitar 200%,'' papar Makmur.
Namun, kendati bantuan ADB sekarang sudah berakhir. Yang jelas demi anjal, model rumah singgah ini dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dititipkan lewat dinas sosial provinsi, dalam bentuk dana dekonsentrasi.
Untuk tahun ini, menurut Makmur, ada sekitar Rp50 miliar telah dikucurkan sebagai dana dekonsentrasi tersebut. ''Jadi pelaksananya adalah provinsi, bukan pemerintah pusat,'' ungkap Makmur. ***Sdk/Lng/En/M-5
WAJAH dua bocah bertubuh tambun itu, muncul di balik kaca jendela mobil yang berhenti di lampu merah perempatan kantor Polda Jawa Tengah.
Bersamaan dengan suara cempreng dari beberapa tutup botol bekas minuman sebagai alat musik, mengiringi vokal sumbang dua anak itu. Maklum, lagu dan alat musik khas itu dimainkan sekenanya.
Kendati di bawah sengatan panas matahari, bocah itu tetap semangat dan tetap berusaha tersenyum. Apalagi saat sang sopir membuka kaca jendela mobil dan mengulurkan tangan sambil memberikan uang.
Setelah menerima recehan, anak-anak itu mengamen lagi ke mobil di belakangnya. Begitu seterusnya setiap hari.
Dua bocah bernama Yanto, 10, dan Yanti, 9, itu sedikit di antara ratusan anak yang setiap harinya mengamen, mengemis, maupun menjadi pedagang asongan di sudut-sudut Kota Semarang.
Menurut aktivis Yayasan Setara Semarang --lembaga monitor anjal-- Hening Budiyawati, anak-anak ini terjun ke jalanan karena faktor ekonomi dan paksaan orang tuanya. ''Mereka ditarget harus mendapat Rp50 ribu setiap harinya, kalau tidak mereka dipukul,'' katanya.
Lebih dari itu, Hening juga mendapati 100% anjal di Kota Semarang pernah menggunakan obat terlarang, walaupun obat yang dipakai setingkat pil leksotan dan lem aibon yang paling-paling seharga Rp10 ribu per kaleng.
Bahkan bukan cerita anyar lagi, anjal khususnya perempuan kerap mengalami pemerkosaan atau pelecehan seksual dari komunitasnya. Paling tidak, sepanjang 2003 lalu ada 25 kasus pemerkosaan yang dialami anjal.
Maka itu setiap enam bulan sekali, Yayasan Setara Semarang terus melakukan monitoring sekitar 193 anjal. Tujuannya, agar secara perlahan kegiatan anjal ini dapat dihentikan atau setidaknya dikurangi. ''Pendekatan yang kita lakukan di antaranya, melalui diskusi dengan mereka,'' papar Hening.
Tidak cuma di Semarang, aktivitas pengentasan anjal juga dilakukan di hampir seluruh kota di Tanah Air. Sanggar Anak Akar Jakarta, misalnya, sejak berdiri 1994 telah banyak membantu memberikan suasana rumah, pendidikan sekolah, dan pendidikan sosial masyarakat.
Rumah singgah ini juga melayani alternatif bagi anak jalanan untuk bermain, belajar, membuat perpustakaan, tabloid, pagelaran drama dan musik. Namun tidak ingin memaksakan agar anjal kembali ke rumah masing-masing. ''Hal ini seyogianya menjadi tanggungan pemerintah sesuai dengan amanat undang-undang,'' tegas Pimpinan Sanggar Anak Akar, Ibe Karyanto.
Di Indonesia tercatat ada sekitar 900 rumah singgah yang berdomisili di 12 kota besar. Rumah-rumah itu berfungsi sebagai penyelamatan anjal, pelayanan jasa dengan memberikan makanan tambahan, bea siswa, tutorial, latihan keterampilan, reunifikasi keluarga, bimbingan kewirausahaan, maupun penyuluhan sosial.
Uniknya, menurut Deputi Bidang Perlindungan dan Kesejahteraan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Rachmat Sentika, banyaknya rumah singgah justru pertumbuhan anjal semakin banyak. Per tahun terjadi peningkatan sekitar 22%, padahal kalau dibiarkan saja peningkatannya cuma 16% saja. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan tahun 2003 menunjukkan sebanyak 47.000 anak beredar di jalan.
Seleksi rumah singgah
Maka itu, tidak salah kalau belakangan pemerintah pun mulai melihat model rumah singgah ini seefisien dan efektif mungkin. Menurut Rachmat Sentika, model rumah singgah itu berbentuk skema jaring pengaman sosial.
Strategi penanggulangannya juga berbeda, umpamanya untuk kelompok risiko tinggi, pemerintah mengelompokkan dalam satu lingkungan dengan membuat panti asuhan dan rumah singgah.
Sedangkan strategi lainnya, pemerintah berusaha mengembalikan kepada orang tuanya agar mereka bisa sekolah. Sedangkan orang tuanya, diberikan bantuan melalui pemberdayaan ekonomi.
Direktur Bina Pelayanan Sosial Anak Departemen Sosial Makmur Sanusi menilai, sebaiknya rumah singgah itu dikurangi namun digantikan dengan model protection home (rumah perlindungan).
Alasannya, selama ini rumah singgah terlalu banyak di ekspos. Akibatnya, anak yang merasa tidak terlayani ikut turun ke jalan, sehingga jumlah anak jalanan semakin besar.
''Jadi model rumah perlindungan itu merupakan salah satu kebijakan untuk mengurangi populasi anak jalan,'' katanya.
Mengenai teknis pengurangan itu akan diserahkan kepada daerah. Bagi daerah yang masih cocok dengan model rumah singgah tetap dipertahankan. Sedangkan untuk daerah yang dinilai tidak pas, akan dialihkan ke rumah perlindungan.
Dana rumah singgah itu berasal dari bantuan ASEAN Development Bank (ADB) yang jumlahnya sekitar Rp200 miliar untuk tahun 2002-2003.
Dalam setiap komponen rumah singgah dilakukan kegiatan seperti, pendidikan gratis, work shop, dan pemberdayaan keluarga.
Sedangkan pengelola rumah singgah, dilakukan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang telah diseleksi tim koordinasi kota (TKK) pemerintah daerah.
Diakui dengan dana sebesar itu, rupanya pemerintah belum bisa menangani anak jalanan secara keseluruhan. Yang bisa dilakukan hanyalah memperlambat pertumbuhan anak jalanan. ''Yang tadinya pertumbuhan anak jalanan sekitar 400%, sekarang tinggal sekitar 200%,'' papar Makmur.
Namun, kendati bantuan ADB sekarang sudah berakhir. Yang jelas demi anjal, model rumah singgah ini dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dititipkan lewat dinas sosial provinsi, dalam bentuk dana dekonsentrasi.
Untuk tahun ini, menurut Makmur, ada sekitar Rp50 miliar telah dikucurkan sebagai dana dekonsentrasi tersebut. ''Jadi pelaksananya adalah provinsi, bukan pemerintah pusat,'' ungkap Makmur. ***Sdk/Lng/En/M-5
bagaimana nasib mereka kelak
Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita. Mereka adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.
Menurut UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang hak-hak Anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection).
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 1998 memperlihatkan bahwa anak jalanan secara nasional berjumlah sekitar 2,8 juta anak. Dua tahun kemudian, tahun 2000, angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4%, sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak. Pada tahun yang sama, anak yang tergolong rawan menjadi anak jalanan berjumlah 10,3 juta anak atau 17, 6% dari populasi anak di Indonesia, yaitu 58,7 juta anak (Soewignyo, 2002). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kualitas hidup dan masa depan anak-anak sangat memperihatinkan, padahal mereka adalah aset, investasi SDM dan sekaligus tumpuan masa depan bangsa. Jika kondisi dan kualitas hidup anak kita memprihatinkan, berarti masa depan bangsa dan negara juga kurang menggembirakan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, sebagian dari anak bangsa kita mengalami lost generation (generasi yang hilang).
SUSENAS tahun 2000 juga menunjukkan bahwa salah satu faktor ketidakberhasilan pembangunan nasional dalam berbagai bidang itu, antara lain, disebabkan oleh minimnya perhatian pemerintah dan semua pihak terhadap eksistensi keluarga. Perhatian dan treatment yang terfokus pada “keluarga sebagai basis dan sistem pemberdayaan” yang menjadi pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara relatif belum menjadi komitmen bersama dan usaha yang serius dari banyak pihak. Padahal, masyarakat dan negara yang sehat, kuat, cerdas, dan berkualitas dipastikan karena tumbuh dan berkembang dari dan dalam lingkungan keluarga yang sehat, kuat, cerdas dan berkualitas. Dengan demikian, masalah anak termasuk anak jalanan perlu adanya penanganan yang berbasis keluarga, karena keluarga adalah penanggung jawab pertama dan utama masa depan anak-anak mereka.
Menurut UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang hak-hak Anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection).
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 1998 memperlihatkan bahwa anak jalanan secara nasional berjumlah sekitar 2,8 juta anak. Dua tahun kemudian, tahun 2000, angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4%, sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak. Pada tahun yang sama, anak yang tergolong rawan menjadi anak jalanan berjumlah 10,3 juta anak atau 17, 6% dari populasi anak di Indonesia, yaitu 58,7 juta anak (Soewignyo, 2002). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kualitas hidup dan masa depan anak-anak sangat memperihatinkan, padahal mereka adalah aset, investasi SDM dan sekaligus tumpuan masa depan bangsa. Jika kondisi dan kualitas hidup anak kita memprihatinkan, berarti masa depan bangsa dan negara juga kurang menggembirakan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, sebagian dari anak bangsa kita mengalami lost generation (generasi yang hilang).
SUSENAS tahun 2000 juga menunjukkan bahwa salah satu faktor ketidakberhasilan pembangunan nasional dalam berbagai bidang itu, antara lain, disebabkan oleh minimnya perhatian pemerintah dan semua pihak terhadap eksistensi keluarga. Perhatian dan treatment yang terfokus pada “keluarga sebagai basis dan sistem pemberdayaan” yang menjadi pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara relatif belum menjadi komitmen bersama dan usaha yang serius dari banyak pihak. Padahal, masyarakat dan negara yang sehat, kuat, cerdas, dan berkualitas dipastikan karena tumbuh dan berkembang dari dan dalam lingkungan keluarga yang sehat, kuat, cerdas dan berkualitas. Dengan demikian, masalah anak termasuk anak jalanan perlu adanya penanganan yang berbasis keluarga, karena keluarga adalah penanggung jawab pertama dan utama masa depan anak-anak mereka.
Langganan:
Postingan (Atom)